ASAL USUL TERBENTUKNYA GALAKSI.
Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah
yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan,
kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu
ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam
di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima
Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini
membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto
panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry
Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya
oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada
musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat,
menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan
Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu
dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk
menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi
Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada
masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional,
London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana
memberikan nama lain untuk objek yang sama. Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles (dinamakan
Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—dengan Alcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan
menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya.
Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari
putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan
susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang
Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh
orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi
Yunani, galaxias diadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu”
dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Way
yang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan
Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang
muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi
teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang.
Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada
daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain
adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya
terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari
pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Alam semesta yang dibayangkan Thomas Wright dari
Durham.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima
Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari
astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham,
menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola.
Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original
theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar
di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan
Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C
kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D
dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi
bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan
bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat
menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan
cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah
permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila
kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa
"Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai
sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas
Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa
bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang
mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk
serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut
juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messier adalah
sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu”
tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan
spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang
di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di
sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang
menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal
dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah
pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan
bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus.
Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi
dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu
seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung
jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan
cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari.
Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik
semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan
mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap
bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak
bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada
Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak
ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang
mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem
bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima
sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat
menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di
sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi
Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian
sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu
adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi
nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way
atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi
mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil
cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat,
dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge
Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri
bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga
Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi
Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar
di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum
diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah
hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah
mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun
mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui
informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi.
Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan
nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri
bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di
samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua
objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat
ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat
jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang
menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.”
Bagi astronom Harlow Shapley,
nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi
Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur
dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat
mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun
cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow
Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa
nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di
kemudian hari dinamakan sebagai The Great Debate ini, kedua
pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka,
akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala
Galaksi dan alam semesta kita.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar